Minggu, 16 Januari 2011

KONTEKSTUALISASI

Oleh: Johanes Robini Marianto,O.P. 

Tiga-empat bulan lalu di Indonesia orang ramai-ramai bicara mengenai Corporate Social Responsibility tanggung jawab sosial korporasi) (CSR).Intinya ada hokum yang masuk dalam legislasi bahwa korporasi harus (legal) menyediakan sejumlah persen dana untuk keperluan sosial kemasyarakat. Banyak pihak pebisnis itu protes mengenai angka persen yang ditetapkan pemerintah secara legal. Argumennya sederhana biarlah korporasi yang menentukan angkanya. Serahkan saja kepada kebijakan tiap-tiap perushaan. 

Masalahnya bagaimana publik bisa ada mekanisme mengawasi dan sungguh-sungguh merasa ada kontribusi korporasi . tersebut bagi masyarakat? Di Negara lain yang sudah maju dan mengadopsi . semacam "ideologi Negara kesejahteraan" hal ini akan tertuang secara nyata dalam undang-undang dan dengan persentasi yang jelas. Sekali lagi masalahnyj bukan pada merasa terpaksc atau apapun juga, melain-kan demi korporasi itu sendiri dan keyakinan bahwa yang mendukung korporasi selama ini adalah masyarakat. Mungkin di Negara di mana kepastian hokum dan perlakuan hokum masih kurang adil hal ini tidak akan terasakan karena kekuasaan masih bisa melindungi. Namun lama-kelamaan hal ini akan ditinggalkan orang. Maka dari itu, persentase yang pasti dan legal dan sung-guh-sungguh masuk akal dan tidak mematikan usaha (karena sudah ada pajak yang seharusnya merupahkan dana yang kembali ke masyarakat) kiranya perlu diterapkan dengan tegas, meski harus dengan pertimbangan yang matang. 

Untuk daerah Kalimantan Barat kiranya perlu ada suatu kebijakkan mengenai hal ini karena daerah Kalimantan Barat banyak jenis usaha lebih-lebih menyangkut hal-hal yang menyangkut hidup banyak orang, misalnya lingkungan hidup. Ini bukan hanya tegas dalam soal lingkungan hidup, melainkan kontribu­si sosial korporasi. Masalah­nya sudah berat kalau melihat soal lingkungan hidup (ekologi) sehingga dunia internasional sudah "marah" dengan eksploitasi alam kita yang menyela-matkan banyak pihak sekarang atau nantinya akan menderita. Dan ekologi adalah milik semua orang. Korporasi justru mendapatkan untung karena memiliki "ijin/restu' dari banyak pihak, maka selain pajak perlu memikir-kan pihak yang mendukung dan membuatnya menjadi sukses. Di sinilah kita aan bicara GSR 

Mungkin pada akhirnya kita harus memiliki sebuah rasa sosial dalam bisnis. Ini tentu suatu hal yang masih harus kebanyakkan dari kita pelajari. Biasanya kita memikirkan kata sosial adalah masalah personal. Namun hal ini-kiranya bukan lagi kesadaran umuii di banyak tempat/Negara. Justru kita masih harus belajar banyak mengenai hal-hal yang baik dari pihak lain. Kita perlu melembagakan yang namanya "rasa sosial di dalam bisnis" karena bagaimanapun juga dibiar-kan menjadi madalah pribadi akan mejadi riskan karena semua bisa tergoda untuk kembali ke situasi "homo homini lupus." Mudah-mudahan presentasi penulis mengenai banyak perusahaanbesar yang melembagakan rasa sosial bisa membuat kita mere-nung dan atau membuat kita malu bahwa mereka di tepat lain sudah semakin manusiawi sedangkan kita masih banyak yang menjadi "serigala" pemakan sesama kita.

Kapitalisme Berwajah Sosial

Dalam rubrik Teropong Ekonomi Hari Ini
Borneo Tribun 29 September 2008
Oleh: Johanes Robini Marianto, O.P.

Sudah lama pendapat beredar bahwa kapitalisme selalu menganggungkan "private-interest" (kepentingan [bisnis] pribadi) daripada kepentingan umum. Pendapat ini selalu menda-patkan pembenaran dari pembacaan baik realitas maupun dari akar kapitalisme itu sendiri yaitu teori Adam Smith. 

Namun akhir-akhir ini ternyata banyak perkem-bangan baru yang sudah mulai sebenarnya dari teori ekonomi itu sendiri (mis. J.M. Keynes yang mengu-sulkan intervensi pemerin-tah dalam kebijakkan ekonomi) maupun praktek masa kini. Banyak yang menyebutnya kapitalisme yang sudah direvisi atau kapitalisme berwajah sosial. 

Namun sebenarnya kenyataannya bukan terletak di istilah tetapi ada perkembangan pemikiran bahwa perkembangan ekonomi manapun tidak akan bertahan dan berke-lanjutan apabila tidak memperhatikan sisi sosial, mis. 

Lingkungan hidup, etika bisnis dan aspek keadilan sosial. Bahkan akhir-akhir ini terbit karya Smith yang diedit secara modern yang berbicara justru bahwa Adam Smith takut akan kegiatan ekonomi tanpa regulasi dan dibiarkan lepas sesuai dengan hukum penawaran-permintaan. 

Dia bahkan takut akan perusahaan besar yang bisa saja melobi penguasa sehingga secara tidak adil menghancurkan lainnya hanya karena kekuatan ekonomi perusahaan-perusahaan besar/raksasa tersebut (Alan B. Kruger, "Introduction" di dalam Adam Smith, The Wealth of Nations, New York: Bantam Dell, 2003, hal. xi-xii). 

Baru-baru ini terbit sebuah buku yang menarik yang membahas berbagai perusahaan multi-nasional raksasa terlibat di dalam usaha filantropi (kemanu-siaan) dan bahkan mema-sukkan unsur filantropi ke dalam kebijaksaan atau struktur perusahaan itu sendiri (Marc Benioff, The Business of Changing the World: Twenty Great Leaders on Strategic Corporate Philanthropy, New York: McGraw Hill, 2006). 

Kita bisa ambil beberapa contoh perusahaan yang menerapkan strategi filantropi ke dalam korpo-rasi mereka. HASBRO sebuah perusahaan yang bergerak di bidang mainan (termasuk POKEMON) di tahun 1983 mendirikan sebuah Yayasan (Hasbro Charitable Trust) dan setiap tahunnya mendonasikan sekitar US 1.5 juta dan jutaan maninan untuk anak-anak di dunia di tempat perusahaan itu beroperasi. 

Dan di tahun 1954 sebuah yayasan didirikan lagi (Hasbro Children's Foundation) mendonasikan sekitar US 42 juta kepada banyak sekali institusi kemanusia an di seluruh dunia. Dan yang paling menaril adalah di tahun 1994 mereka mendirikan Hasbro Children's Hospital di Rhode Island, Provi­dence, USA yang modal awalnya diberikan oleh Hasbro. 

Kalau ditanya kenapa pemiliknya berbuat demikian dia mengatakan bahwa selain sukses perusahaannya karena kerja keras, mereka secara moral berhutang budi pada semua keluarga dan anak-anak di dunia. Maka tepatlah mereka mengem-balikan sebagian keun-tungan mereka kepada pasar" mereka, yaitu anak anak di seluruh dunia. UPS adalah sebuah perusahaan jasa pengirim-an. Sebelum tahun 1951 mereka mendirikan Casey Foundation yang asetnya sekarang US 3 trilyun untuk membantu keluarga dan anak-anak yang kurang mampu. 

Dan di tahun 1951 mereka mendirikan UPS Foundation yang berusaha memberikan kembali sebagian keuntungan mereka untuk masyarakat. Di tahun 1984 mereka telar mendemsikan sekitar V: 40 iuta untuk semua organstsas: Kemanusiaan seluruh dunia.

Bukan hanya itu, mereka"" bahkan mempunyai program pengabdian masyarakat di mana semua karyawan mereka wajib untuk kerja sosial demi masyarakat di mana merek; ada sebanyak 13,000 jam kerja membantu pemba-ngunan rumah untuk oram miskin di Filipina, Nigeria dan di Belgia. Bagi UPS bisnis bukan sekedar hanya bisnis tetapi membuat jaringan/koneksi manusia dan budaya. 

Timberland sebuah pabrik sepatu raksasa juga membuat hal yang sama. Filosofi bisnis mereka adalah mengintegrasikan keadilan sosial di dalam bisnis sehingga mereka mempunyai apa yang disebut"Code of Conduct" (Aturan Main) di dalam bisnis yang diterjemahkan di dalam 20 bahasa di dunia. 

Mereka juga menjaring rekan untuk kerjasama kemanusiaan bahkan karyawan mereka juga harus mendedikasikan waktu kerjanya untuk proyek kemanusiaan (330,000 jam telah mereka lalui untuk pelayanan sosial kemasyarakatan dari setiap karyawan Timber-land). Masih banyak yang bisa dibaca lagi di dalarr. buku tersebut misalnya dari perusahaan-perusaha-an yang kita kenal baik: Levi Strauss & Co, INTEL. Starbucks, dan lainnya.


Memimpikan Indonesia Besar



DARI pengetahuan yang dimiliki dia akan mempunyai visi-misi ke depan yang dituju dengan jelas dan mempunyai kemampuan untuk eksekusi dari A-Z. Apakah system pendidikan dan kurikulum kita bisa menghasilkan manusia-manusia demikian? Itulah tantangan kalau Indonesia ingin menjadi emas dan bukan hanya menggerutu dan meratapi nasib melihat India (Bangalore) berubah menja­di "kota silicon" dan pusat outsourcing yang berpengaruh di dunia. Kita tidak bisa menyusun sebuah strategic-plan yang baik dan rencana karena tidak mempunyai banyak SDM yang mengarah ke perencanaan strategis yang proaktif dan mengenal gerakan dan perubahan global. Pola mengikutihukum"permintaan dan penawaran" atau "aksi-reaksi" adalah per­mainan bisnis jangka pendek dan jangka panjang. Tak heran tiba-tiba kita merasa BBM perlu dinaikan lagi setelah Mei 2008 karena antisipasi kebijakan bihan bakar tidak terdeleksi atau tidak tahu langkah strategis ke depan mau apa setelah menganalisis keadaan atau sinyal yang mungkin sudah lama ada. 

Hal ketiga adalah soal birokrasi. Yang penulis maksudkan baik system politik atau politik maupun kebijak­an yang diterapkan. Dari pengalaman penulis tinggal 9 tahun di Filipina, setelah Marcos jatuh era 1980-an dengan "people-power"-nya sampai hari ini Filipina dinilai tak berhasil mengangkat kemakmuran negaranya. 

Jika ditanya, banyak orang Filipina menjawab "democ­racy we dream has become demo-crazy" (demokrasi yang kita impikan sudah berubah menjadi demokrasi kebablasan). Dalam people-power yang berganti adalah rezim, bukan orang-orangnya. De­ngan kata lain: mentalitas politik dan permainan poli­tik setelah 10 tahun reformasi sudah mengingatkan apa­kah demokrasi kita sudah kebablasan dan apakah yang kita ganti sebuah rezim atau aktor utama atau sebuah mentalitas/sistem? 

Banyak pihak mengeluh mengenai politik dan birok­rasi di Indonesia pasca-reformasi. Mendatangkan inves­tor setengah mati, namun apakah politik kita (keamanan, jaminan investasi dan kelangsungan investasi) serta birokrasi kita efektil dan efesien? Buku Michael Backman, Asia Filter Shock yang baru saja terbit sangat berlawanan dengan prediksi optimis di atas. Bekman mengatakan masa depan Indonesia suram karena untuk berbisnis biayanya sangat tinggi. Yang dimaksud adalah 'biaya siluman' alias korupsi. Pertama, korupsi Indonesia memburuk sejak jatuhnya Soeharto. Kedua, warisan hukum kolonial Belanda yang jelas tidak muktahir menyebabkan banyak ketidakpastian yang justru menjadi lahan subur tumbuhnya korupsi. Legalitas bisnis di Indonesia tidak jelas dan kadang kala menyebabkan banyak penafsiran yang bertentangan (atau sengaja dibuat demiki­an). Gubernur bilang," I am the boss", bupati pula mengatakan "He is the boss. Ah Yes..,but I am the CEO". 

Ketiga, rakyat Indonesia sa-ngat fleksibel terhadap ko­rupsi. Korupsi dilihat dari segi kuantitas. Banyak orang masih menganggap sah dan wajar jika orang-orang yang berkuasa memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya diri. Masyarakat baru jijik jika orang itu terlalu serakah. Mungkin anda terkejut pada analisa Backman. 

Demorkasi kebablasan membuat semua orang punya hak bicara keras dan iklim usaha terganggu. Pemodal akhirnya lebih memilih Vietnam atau Cina. 

Belum lagi bicara soal KKN. Kompas edisi 10 Juni 2008 melaporkan di pelabuhan Tanjung Priok, berkat sidak KPK ditemukan amplop berisi uang , untuk para petugas bea cukai pelabuhan hingga membuat marah Wapres dan menyebutnya sebagai 'keterlaluan.' 

Untuk perusahan luar yang disiplin keuangannya tinggi dan penuh integritas, dana siluman akan membu­at mereka kelabakan dan melawan prinsip korporasi. Mereka akan memilih mundur. Atau kalau pun melanjutkan, bea produksi dan impor menjadi lebih mahal se­bagai kompnesasi dari bea siluman tadi.

Semuanya ini bisa kita rangkum sebagai masalah clean/good and effective governance. Kalau ada kemauan politik masyarakat dan pemerintah untuk nienghentikan KKN, penulis kira kita tak perlu menunggu 22 tahun lagi untuk menjadi kuat. Akhirnya penulis ingin mengutip majalah SWA lagi untuk menjawab pesimisme Backman. Indonesia maju tak harus menunggu 22 ta­hun lagi. Syaratnya, sebagai-mana dirumuskan SWA dibutuhkan mentalilas: berjiwa mandiri, berpendidikan maju, visioner, berorientasi kesatuan, berkeadilan sosial, mempunyai kcpedulian so­sial serta berjiwa enter-preuner, peduli lingkungan, kreatif dan inovatif, berdaya saing di tbgkat global, bersih dari segala KKN, berakhlak yang baik dan siap berubah. Tiga belas mentalitas yang di-butuhkan ini merupakan prasyarat kalau ingin mem­buat Indonesia besar kemba-li. Masalahnya adalah apa-kahkita semua aanggup mempunyai kemauan un« tuk mewujudkan prasyarat di atas.

Apa yang Terjadi di Dunia ini dan visi Pendidikan Kita

29 Agustus 2007



BAGAIMANA visi manajemen kita? Kita sudah melihat bahwa arah pen­didikan harus memprioritaskan human character building, yaitu pembentukkan manusia yang selalu. mandiri dan haus "untuk belajar terus-menerus, manusia yang terbuka untuk belajar dari siapapun dan dari manapun, dan manusia yang mencari signifikasi (arti) bagi dirinya sendiri dan orang lain (SQ dan EQ). Maka penulis meringkaskan visi manaje­men nantinya adalah: center of ex­cellence, center of net-workings, and agent of personal and social welfare. Apa yang penulis maksudkan di atas? 

Penulis mau mengatakan bahwa arah manajemen sekolah pertama-tama adalah menjadikan institusi pendidikan (sekolah) sebagai center of excellence (CE). CE ini bukan hanya merancang sebuah proses belajar-mengajar (kurikulum) untuk mencapai pengetahuan intelektual dan tehnologi, namun lebih-lebih menciptakan kesadaran diri (self-awareness) para peserta didik untuk tahu akan dirinya, lingkungannya dan me-nentukan sebuah sikap dengan baik. Kala "baik" di sini berarti baik dalam hal pencapaian tujuan dan cara-cara yang etis untuk men­capai tujuan. Penulis mau membagikan pengalamannya ketika membaca buku yang baru-baru terbit (tahun 2007) yaitu Peter F. Drucker, Classic Drucker, Jakarta: FT. BhuanaRmu Populer (BIP), 2007. Sungguh orang akan kaget melihat bagaimana Drucker me-mulai pembicaraannya tentang manajemen dengan pembahasan Merigelolah Diri Sendiri. Hal yang dia bicarakan di dalam bab pertama bukunya membicarakan hal-hal yang re mgkin lepas dari pikiran kita: "Apa kekuatan saya, Bagaimana saya berkinerja, Apa-kah saya seorang pembaca atau pendengar, Bagaimana saya bela­jar, Apa nilai-nilai saya, Tanggung jawab membina hubungan..." Mungkin visi manajemen kurikulum kita harus diatur kembali untuk membantu peserta didik untuk menjadi mandiri dengan melatih pola pikir mereka dan bagaimana mereka melihat hidup dan apa yang terjadi di sekilarnya. Center of Net-Working (CNW) mengajarkan kepada kita bahwa untuk berhasil menjadi manusia yang berkualitas dewasa ini kita tidak bisa menutup diri dan me-ngerjakan sendiri saja: kita butuh sinergi dari berbagai pihak. Dunia sekarang membutuhkan "the openness and the art of doing to­gether." Kita tidak perlu malu un­tuk "mengemis" ide dari siapapun juga, Hal ini bisa dibantu oleh tehnologi yang sudah canggih dan tentu kemampuan berbahasa le-bih dari satu. Sebagai contoh: te-lekomunikasi satelit bisa meng-hadirkan seorang pengajar di be-lahan dunia lain di layar tanpa perlu pindah lokasi. Tentu ini mengandaikan bahwa semua yang terlibat di dalam proses pen­didikan, terutamapendidik sendiri, terbuka akan semua pihak dari manapun juga (multi-kultural). 

Agent of personal and social welfare mengatakan bahwa di dalam seluruh proses pendidikan sang peserta didik dengan masa depannya harus merupahkan tujuan utama pendidikan. Institusi pendidikan yang tidak bisa mem-berikan masa depan yang baik ba­gi si peserta didik dan masyarakat merupahkan pemborosan waktu dan tenaga! Bukan rahasia umum lagi banyak lulusan sarjana di berbagai tempat (jadi bukan hanya di Indonesia!) menganggur dan sebagian lagi tidak kreatif alau alias tidak bisa kerja. Ini menye­babkan kita bertanya yang salali itu siiipa: dia atau tempat dia mc-nuntut ilmu? Tetapi keberhasilan/ kesuksesan pribadi (masa depan yang cerah dengan cara pencapaian yang etis) tidaklah tujuan satu-satunya. Kita tahu juga bahwa pernimpin/penguasa otoriter (bah-kan fasis), koruptor paling jago adalah juga pernah lulusan di seko­lah yang terbaik dari segi keheba-tan sistem pendidikannya, orientasi religiusnya dan bahkan sekolah paling mahal dan bergengsi. Me-ngapa? Karena di institusi pen­didikan tersebut tidak berhasil me-nanamkan nilai-mlai (etika) sosial. Sesuatu yang mempunyai efek negative secara sosial (negative social cost) selalu akan menjadi masalah bagi semua pihak, terma-siik "yang menyebabkan" pada akliirnya Mungkin pada awal jalan pintas merupahkan cara yang efisien, namun tidaklah selalu efek-tif pada akhirnya. Ini mengajarkan kita bahwa menularkan sejak dini social values (nilai-nilai/etika sosial) sangatlah penting. Tang­gung jawab sosial akan menjadi sebuah beban institusi pendidikan juga nantinya. Maka dari itu sebuah kurikulum yang dirancang khusus (bukan hanya pakct pela­jaran formal, tetapi sikap!) dibu-tuhkan agar lulusan manapun mempunyai tanggung jawab sosial kemasyarakatan. Kalau pembaca mengikuti se­mua tulisan yang panjang dan mungkin membosankan dari mim-pi seorang pendidik juga, di dalam hatinya akan timbul dua pertanyaan mendasar yang sah:
apakah dengan demikian itu ber­arti kita harus merombak scinun kurikulum lagi, (2) kalau bcgilu pendidikan akan sangat mahal harganya kelak kalau ini diikuti. 

Terhadap pertanyaan pertami penulis sekali lagi menegaskan masalahnya bukan pertama-lama mengubah kurikulum dalam arti isi/paket mata pelajaran. Ini masalah bagaimana re-orientasi sebuah institusi pendidikan dan metode yang diterapkan untuk mencapai visi tersebut. 

Memang kalau dillihat demi­kian pendidikan akan kelihatan mahal. Ada benarnya dan ada tidak benarnya. Benarnya adalah bahwa ini memerlukan sebuah investasi yang cukup lumayan besar (kalau menyangkut tehno­logi). Ini hanya sebatas masalah tehnik (how). Sekali lagi, yang terpenting bukan persoalan instru­mental (tehnik), namun cara pandang/paradigma atau visi. Kita bukan kekurangan sekolah yang mempunyai perangkat labora-torium yang cukup. Namun, kila masih kurang melahirkan ilmu-wan inovatif besar. Ini segi tidak benarnya bahwa akan selalu bun-tutnya adalah soal finansial. 

*) Penulis adalah Dosen SIT Pastor Bonus dan Seminari A. Ventigmillia Direktur Center for Research and Inter-Religious Dialogue (CRID)

Pendidikan Multikultural Prioritaskan di Daerah Konflik

19 September 2007

PONTIANAK, KOMPAS -Pendidikan multikultural perlu diprioritaskan menjadi salah satu kurikulum muatan lokal di da-erah konflik. Pendidikan multi­kultural di jejang pendidikan for­mal itu diharapkan dapat mem-bangun kesadaran siswa untuk memahami dan menghargai per-bedaan. Dengan cara ini, konflik di wilayah tersebut diharapkan bisa diredam atau bahkan dihilangkan. 

Gagasan ini disampaikan M Ikhsan Tanggok, dosen filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, da-lam seminar "Pendidikan Mul-tikulturalisme Menuju Masyara-kat Madani di Kalimantan Barat", Selasa (18/9) di Pontianak. Se­minar yang diselenggarakan Cen­ter for Research and Inter-Re­ligious Dialogue (CRID) ini juga menghadirkan Sekretaris Ekse-kutif Hubungan Antarkeagamaan (HAK) Konferensi Waligereja In­donesia (KWI) P Benny Susetya Pr. "Idealnya pendidikan multi­kultural diakomodasi di kuriku­lum nasional. Namun, untuk me-nerapkan hal itu dibutuhkan pra-syarat dan biaya yang tidak se-dikit. Selain kurikulum, gurujuga harus ditatar terlebih dahulu agar memahami metodologi pendidik­an multikultural yang berbeda dengan pengajaran mata pela-jaran lain. Jadi, pendidikan mul­tikultural dapat mulai dikem-bangkan dalam kurikulum mu­atan lokal di daerah konflik atau bekas konflik, seperti di Kalimantan Barat, Poso, Papua, danl Ambon," kata Ikhsan. 

Di tingkat perguruan tinggi, pendidikan multikultural dapat dilakukan melalui mata kuliah sejarah agama-agama dan per-bandingan agama, seperti yang diterapkan UIN Syarif Hidaya­tullah dalam 15 tahun terakhir. Prinsipnya, mempelajari agama orang lain bukan berarti harus mengimani agama tersebut] tetapi mengenal agama lain itu! Hal ini dapat menghilangkan pra sangka terhadap agama lain, se kaligus meningkatkan toleransi terhadap agama orang lain. 

Sejak dini 
Bagi Benny Susetya, pendidikan multikultural perlu dibanguri sejak dini di lingkup keluarga. Sejak kecil anak perlu dibiasakan mengakui dan menghargai perbedaan agama, keyakinan, ideologi, budaya, dan segala perbe daan lain. 

"Kuncinya ada pada komuni kasi atau dialog yang perlu terus dikembangkan oleh orangtua. Anak diberi ruang untuk meng-ekspresikan dan mendiskusikan segala perbedaan yang ada. Untuk mencapai itu, orangtua harus mampu menghilangkan otoritas tunggal atau budaya feodal yan; ada dalam dirinya," kata Benny. Salah satu contoh penerapan pendidikan multikultural di ke luarga adalah mengajak anak me-nonton mimbar agama lain. Dari situ anak diajak memahami ni lai-nilai yang sama atau yang ber­beda, lalu didiskusikan. (WHY)

Bupati Sekeluarga Jadi Model

Tribun Pontianak, 13 Juni 2010

Orang jakarta menjadi terbuka sekaligus takjub, ternyata ada kalin bernilai seni dan budaya tinggi dari Kalbar.


PONTIANAK, TRIBUN - Pria berbusana batik yang dido-minasi warna hitam dipadu biru itu, melangkah agak kaku di catwalk. Di sisi kirinya, sang istri yang mengenakan batik dominasi warna biru, men-dampingi dengan berusama memadu langkah. 

Suasana Jumat (11/6) malam di Bentara Budaya Palmerah, Jakarta, memang beda dari biasanya. Ada iven unik seka-ligus langka sedang digelar di sana. "Sesekali dong saya jadi pragawan. Tak hanya sekadar mengurus asset daerah," ujar priaitukepadaTnfr«7i, Sabtu (12/ 6), dihubungi dari Pontianak. 

Pria itu, Kartius, Kepala Biro Asset Pemprov Kalbar, didau-lat menjadi pragawan pada Gelar Budaya Dayak Kalbar 2010 yang digelar di ibukota. la didampingi istrinya, Yuliana, dan putrinya Eta Yuliatika.. 

Iven itu digelar oleh Yaya-san Santo Martihus de Porres bersama sejumlah tokoh Da­yak Kalbar. Bertajuk Gelar Budaya Dayak 2010, acara ini digelar pada 10-13 Juni. 

Yayasan Santo Martinus de Porres, merupakan lembaga pendukung karya-karya Ordo Dominikan di Indonesia. Bagaimana perasaan Kartius me­langkah di atas catwalk? 
"Wah, agak kaku rasanya. Canggung juga, karena tak pernah menjadi pragawan. Lagj pula, saya kan bukan model profesional, dan hanya sempat, erlatih alakadarnya," ucap Kartius disambung tawa kecil Kartius tak sendiri. Bupati Landak, Adrianus Asia Sidot, juga ikut menjadi pragawan. Mengenakan batik warna or­ange dipadu celana cqkelat, or­ang nomor, satu di Landakini melangkah pasti didampingi istri dan dua putrinya. 

Sang istri mengenakan ata» san warna senada dengan sua-minya, dipadu bawahan kain tenun khas Sintang. Kedua putri mengenakan busana je-nis gaun yang semarak dengan aneka motif khas Dayak. 

Para pejabat tersebut se-ngaja dijadikan ikon peragaan busana pada kesempatan itu. Tak pelak, publik Jakarta yang terdiri atas masyarakat biasa, para wartawan, dan pelaku bisnis konvensi, takjub dengan suguhan itu. "Setelah saya tu-run dari panggung, banyak yang heran. Kok bukan model profesional yang jadi pragawan dan pragawati?" ujar Kartius. 

Ketua Panitia Gelar Budaya Dayak 2010, Paulus Florus, menuturkan, sambutan publik ibu kota cukup-pqsitif. "Orang Jakarta menjadi teirbuka, se­kaligus takjub, ternyata ada kairi bernilai seni dan budaya tinggi dari Kalbar. Selama ini, mereka hanya mengenal batik Yogya dan Solo, misalnya," ujar Florus kepada Tribun.  

Kain khas Dayak Kalbar ini unik dan tergolong langka. Terlebih, penampilan di Jakarta belum pernah ada. "Beberapa pengunjung mengatakan kain khas Dayak ini memang unik. Perbedaanny a dengan kain lainr nya, batik Dayak dimodifikasi dengan pola tenunan, sehingga ciri tradisionalnya tetap ter-lihat," papar Florus. (end)



Pengusaha Terpesona Batik Khas

Tribun Pontianak, 12 Juni 2010


Pria itu fasih, seolah-olah dukun. la memulai perhelatan Gelar Budaya Dayak di Bentara Budaya

Jakarta, Jumat (11/6) melalui pertolongan Jubata. Dalatn Bahasa Dayak Kanayatn, merapalkan mantera, menebar beras, dan menerawang menggunakan seekor ayam hitam yang hidup.


Pria itu bukan sembarang orang. Dia adalah Pastor Benidiktus Benik Pr, imam Da­yak asli Kalbar, yang menunjukkan "kebolehannya" pada publik ibu kota. Pembukaan itu menandai dimulainya Gelar Budaya Dayak Kal­bar 2010. Seorang warga Jakarta, So­nar Sihombing, awalnya menyangka pria yang mengenakan rompi dari kidit kayu kapuak itu sebagai dukun benaran. "Saya baru tahu kalau dia pastor, setelah bedah buku Memahami Tuhan Malalui Alam yang dia' tulis," ujar Sonar kepada Tribun. 

Warga Jakarta yang masih asing dengan tradisi Dayak, menyaksikan pemandangan yang langka. Sebelum memasuki ruangan di depan gerbang ditutup sebatang tebu merah. Mereka melihat "sang dukun" bersila di selembar karpet merah, ditemarri obor kecil dari bekas botol minuman kratingdaeng. Ada pula botol air mineral berisi tuak dan beras kuning dalam piring kecil. Benik sedang memohon kepada Jubata—sebutan orang Dayak kepada Yang Maha Kuasa—agar acara itu diberkati dan berjalan tanpa rintangan. Saat ritual itu.berlangsung, tak sedikit warga ibukota yang mengeryitkan dahi. Mereka bingung, lantaran ritual itu menggunakan bahasa Dayak; yang tak sepatahpun [tmereka pahami. Menariknya, rangkaian ritual pembuka ini, disertai musik tradisional Dayak lewat beberapa jenis musik tabuh. 

Suasana pun serriarak, terlebih saat "sang dukun" menggapai ayam hitam dan seolah-olah melakukan terawang. Seorang pemuda berpakaian khas Dayak, menyerahkan sebilah mandau kepada Bupati Landak, Adrianus Asia Sidot. Beberapa. kali tebas, Adrianus berhasil memotong tebu merah itu, dan para undangan dipersilakan. Sambil memasuki arena, para undangan itu disuguhi minuman tuak.sebagai  pelengkap ritual pembuka tersebut. Saat acara beranjak pada bedah buku, satu per' satu konsep "religiusitas" orang Dayak mulai dikuak. Benik, menjelaskan, ritual itu dimaksudkan agar roh beras menjadi roh para peserta. 

Dalam bukunya, Benik me-ngajak hadiri agar, tak serta merta menstigma orang Dayak sebagai animisme dan terbelakang. Orang Dayak, kata Be­nik, meyakini ada yang lebih kuat di alam sana. 

Seorang imam Dominikan asal Philipina, Edmund Nantes OP, mengatakan, sebaiknya orang lebih kreatif menggali nilai-bilai reigiusitas itu sebelum nanti direbut orang lain. Nilai-nilai tersebut harus dimaknai dalam konteks iman. Takjub Ketua Panitia Gelar Budaya Dayak 2010, P Florus, mengatakan, pegelaran busana berbahan kain khas Dayak, menyedot cukup banyak perhatian warga Jakarta,'Jumat malam..Terlebih, para pragawan dan pragawati yang ditampilkan unik dan beda dari fashion show yang lazim digelar. Sebagai. ikonnya, Bupati  Landak Adrianus Asia Sidot bersama istri dan dua anaknya, tampil di catwalk mengenakan busana khas Dayak. Selain itu, ikut tampil seorang Kepala Biro di Pemprov Kalbar, Kartius, didampingi istri dan seorang putrinya. "Penampilan orang-orang yang tidak biasa itu menarik perhatian pengunjung. Selain jenis kainnya yang memang mereka nilai unik dan mena­rik," kata Florus. Bahkan seorang pengusaha Jakarta, mengaku kepada Florus,haru malam itulah dia menyadari Kalbar memiliki kain khas yang cantik dan unik. Seperti kain tenun dan batik Dayak. 

"Pengusaha ini menilai, kain ini sangat prospek untuk dikembangkan. Terlebih diakuinya, belum banyak kalangan pengu­saha ibukota yang mengenal aneka jenisnya," ujar Florus. 

Sang perancang busana, Clara Niken Asterina, mem-persiapkan l7 potong karyanya yang khusus dipersembahkan untuk extent bersejarah ini. Sebelumnya, dia mengaku sudah terlebih dulu mengenal kain corak etnik lain di Jakarta. 

"Sayangnya kain ini belum dikenal luas, padahal punya nilai estetis sekaligus berpotensi bisnis," kata Niken.  Peragaan rancangannya ini bukanlah sekadar promosi: Melainkan bentuk dorongan agar pengrajin kecil dan menengah ikut menggeliat. "Mengapa yang indah tidak diperkenalkan ke publik? Me­ngapa hanya disimpan di tingkat lokal? Saya yakin; begitu diperkenalkan ke level lebih luas, banyak orang akan memberi apresiasi," ujarnya. Jika ingin menasional, batik Dayak harus diperkenalkan dengan tampilan "genre" baru yang kontekstual dengan zaman sekarang. (end)