Jumat, 14 Januari 2011

SUARA CRID: Peringatan Hari Perdamaian Sedunia 1 Januar


Dalam Arue Review edisi 4 Januari 2011
Johanes Robini Marianto, OP
Direktur CRID

TANGGAL 1 Januari ditetapkan sebagai Hari Perdamaian Sedunia. Hal ini menarik karena kelihatan sekali setiap awal tahun umat manusia mempunyai kerinduan mengawali sebuah tahun dengan harapan bahwa dunia akan semakin baik atau dunia akan dibawa secara kolektif (bersama) semakin baik (baca: damai). Namun yang namanya perdamaian bukanlah sesuatu yang begitu saja terjadi. Kalau membaca Kitab Suci agama Kristen (Injil) pada saat Yesus lahir para malaikat yang mewartakan kepada para gembala mengatakan demikian: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang tinggi dan damai di bumi kepada mereka yang berkenan kepada Allah.” Frase “mereka yang berkenan kepada Allah” bisa dibaca juga sebagai “mereka yang berkehendak baik.” Dari pewartaan malaikat kelihatan bahwa perdamaian atau rasa damai hanya bisa terwujud apabila manusia itu berkehendak baik. Kehendak baik ini dilihat sebagai prasyarat dasar agar perdamaian tercipta. Kebalikkannya juga benar, apabila tidak ada kehendak baik maka perdamaian tidak akan tercipta.

Kenyataan mengawali tahun 2011 kita melihat kilas balik baik di tanah air maupun di tingkat global harapan demikian tidaklah selalu optimis. Paus Benediktus XVI dalam surat edaran tertanggal 1 Januari untuk memperingati Hari Perdamaian Sedunia mensinyalir di tahun 2010 yang baru lewat masalah yang cukup mengusik perdamaian yaitu gejala “adanya penindasan, diskriminasi, tindak kekerasan dan semakin menipisnya toleransi antar agama.” Paus sendiri melihat beberapa bukti sebagai berikut:

Perhatian saya khususnya tertuju pada negeri tercinta Irak, yang terus menerus menjadi ajang kekerasan dan perselisihan demi mencari cara untuk membangun stabilitas serta rekonsiliasi di masa mendatang. Saya pun prihatin akan penderitaan umat Kristiani baru-baru ini, khususnya serangan keji terhadap Siriah-Katolik di Gereja Katedral  Bunda Penolong Abadi di Baghdad pada tanggal 31 Oktober. Dalam serangan ini dua orang imam dan lebih dari lima puluh umat beriman tewas pada saat mereka berkumpul dalam perayaan Misa Kudus. Beberapa hari kemudian serangan lain terjadi. Kali ini di rumah-rumah pribadi. Hal ini berdampak pada penyebaran rasa takut di antara umat Kristiani dan sebagian besar dari mereka berusaha untuk mengungsi demi mencari kehidupan yang lebih baik.

Justru di dalam situasi demikian pada awal tahun ini kita semua diajak merenungkan kembali apa arti perdamaian dan bagaimana mengembangkan kembali sikap untuk selalu berkehendak baik yang merupakan prasyarat untuk membangun perdamaian dan persaudaraan sejati di antara kita di Indonesia dan Kalimantan Barat khususnya.

Kalau kita mendengar kata “perdamaian” kita langsung berpikir damai itu artinya tidak ada perang, tidak ada kerusuhan atau huru-hara. Pengertian ini memang benar namun kuranglah lengkap. Tidak adanya situasi kacau (khaos) itu tidaklah selalu berarti damai. Ketika dunia dalam era perang dingin ketakutan akan kekacauan dan malapetaka terjadinya perang nuklir tidaklah terjadi. Namun itu tidaklah berarti damai. Dunia saat itu memang tidak ada perang nuklir, namun di mana-mana ketakutan dan kompetisi blok Barat-Timur mengakibatkan ketidakstabilan di banyak tempat yang merupakan akibat kompetisi perbutan pengaruh geo-politik antara kedua blok yang saling bersaing. Perdamaian sejati adalah lebih daripada sekedar tidak adanya perang/konflik terbuka. Pepatah yang mengatakan “Kalau ingin damai bersiaplah untuk perang,” tampaknya yang terjadi di era perang dingin sehingga perlombaan senjata, perebutan pengaruh membuat keresahan di mana-mana. Perdamaian sejati tidaklah terwujud karena masing-masing pihak yang “bermusuhan” membangun kekuatan sedemikian rupa sehingga takut untuk menghancurkan habis-habisan sehingga daripada perang dan semuanya hancur lebih baik berdamai. Perdamaian sejati tidaklah dibangun atas dasar semangat kompetisi dan kekuatan senjata. Perdamaian sejati dibangun atas kehendak baik.

Menarik sekali Paus Yohanes XXIII mencoba untuk memberikan pandangannya bagaimana kehendak baik itu bermuara pada perdamaian sejati. Menurut Paus Yohanes XXIII perdamaian akan terwujud apabila ada kebenaran, keadilan, hormat kepada martabat manusia dan cinta kasih. Ini yang disebut 4 pilar untuk mewujudkan perdamaian sejati.  Kalau sebuah masyarakat tidak ada yang namanya kebenaran (mis. Praktek pembohongan publik merajalela, korupsi, informasi yang tepat dan benar tidak ada dan lain-lain) maka sulit terjadi perdamaian sejati. Masyarakat yang hidup dalam kebohongan akan selalu mempunyai sikap saling mencurigai. Demikian juga kalau tidak ada keadilan (keadilan ekonomi, keadilan hukum, keadilan budaya, keadilan dalam beragama dan lain-lain) maka pasti ada pihak yang dirugikan yang akan selalu resah memperjuangkan hak dan masyarakat demikian pun tidak bisa hidup di dalam perdamaian sejati karena ada bagian masyarakat yang selalu merasa dirugikan. Hal yang sama juga apabila tidak ada penghormatan terhadap hak asasi manusia (misalnya penangkapan secara semena-mena tanpa proses hukum, penindasan, kebebasan beragama tidak ada dan lain-lain) maka perdamaian sejati tidaklah juga kunjung tiba. Dan yang lebih medasar apabila di dalam masyarakat cinta kasih (menginginkan yang baik terhadap sesama) tidaklah ada dalam nilai-nilai masyarakat maka masyarakat tersebut akan selalu dalam situasi tidak aman/terancam dan tidak mungkin orang mau berdamai. Yang terjadi jangan-jangan hanyalah praktek balas-dendam. Menarik sekali Paus Yohanes Paulus II menambahkan satu lagi pilar selain 4 pilar di atas agar perdamaian sejati terwujud yaitu solidaritas.   Sollidaritas adalah tuntutan kemanusiaan dan perwujudan kesosialan manusia. Solidaritas itu merupakan sharing bersama akan hal-hal material dan hal-hal spiritual bahkan. Solidaritas merupakan sebuah sikap untuk memperjuangkan tatanan social yang lebih baik dan lebih adil sehingga tidak ada pihak manapun yang tersisihkan. Solidaritas juga mengajak kita untuk membantu mereka yang lemah, kurang  beruntung, mengalami kemalangan/bencana sehingga pihak yang lemah merasa mereka tidak dilupakan/disisihkan dan mendapatkan perhatian dari sesama. Kalau pada akhirnya kelima pilar ini dipraktekkan maka perdamaian sejati tentunya akan terwujud dengan sendirinya.

Relevansi kelima pilar yang merupakan perwujudan kehendak baik (kebenaran, keadilan, penghormatan kepada martabat manusia, cinta kasih dan solidaritas) sangatlah penting bukan hanya pada tingkat internasional/global melainkan juga pada tingkat nasional dan lokal. Memasuki tahun 2011 banyak analis yang mempunyai sikap pesimis terhadap perkembangan dunia di tahun-tahun mendatang. Di tingkat nasional kita melihat sudah banyak analisa mengenai politik dan ekonomi yang ujung-unjungnya pesimis, meski pemerintah sendiri mengatakan sesuatu mengenai Indonesia yang sifatnya optimistis (mis. Tahun 2015 Indonesia akan berhasil menjadi Negara maju dan lain-lain). Bagaimanakah kita di Kalimantan Barat, apakah prediksi kita mengenai perkembangan di Kalbar di tahun 2011 dan mendatang? Terlepas dari prediksi baik yang optimis maupun yang pesimis tentang Kalbar, satu hal yang pasti kalau Kalbar ingin ada perdamaian sejati maka tidak ada jalan lain kecuali kelima pilar yang merupakan perwujudan kehendak baik harus dilaksanakan oleh semua pihak. Kalbar tidak akan ada kemajuan berarti apabila masyarakat dibangun atas kesemuan dan kebohongan dari semua penduduknya. Kalbar tidak akan damai apabila ketidakadilan terjadi secara sistematis maupun sporadis, Kalbar tidak akan maju apabila tidak ada penghormatan kepada hak dan martabat manusia (mis. Hak adat, hak masyarakat), Kalbar tidak akan maju apabila yang ada di benak kita semua adalah balas dendam, saling menjatuhkan dan saling meruntuhkan antara sesama penduduknya dan terlebih Kalbar tidak akan pernah maju sebagai provinsi terbaik apabila masyarakat tidak menyadari solidaritas dalam bentuk perlindungan, dorongan dan bantuan kepada mereka yang lemah dan tersisih merupakan beban dan tanggung jawab kta semua.

The Center for Research and Inter-Religious Dialogue (CRID) yang merupakan lembaga non-profit didirikan tanggal 18 September 2006 oleh imam-imam Ordo Dominikan (OP) bersama tokoh-tokoh agama lain yang mempunyai visi yang sama: mengusahakan perdamaian sejati di Kalimantan Barat dan Indonesia. Tokoh Muslim yang terlibat adalah KH Abdullah, Muhammad, Muhammad Subro, Fitriani, Andi Nuradi, Ubaidillah dan Nur Hafid. Sedangkan tokoh Katolik yang ikut mendirikan, selain imam-imam Dominikan (OP) adalah P. Florus, N. Yati dan Herman Yosef Suhendra. Visi misi CRID selain mengusahakan perdamaian dalam bentuk dialog adalah memperjuangkan pluralisme tanpa menghilangkan identitas masing-masing kelompok, memperjuangkan promosi budaya local serta pembangunan SDM yang menunjang pecapaian perdamaian dari semua sisi. Bekerjasama dengan Tribune Institute CRID mendirikan Lembaga Keuangan Mikro BAHTERA sebagai wujud nyata dialog kehidupan dalam usaha mensejahterakan penduduk Kalbar dalam batas wilayah pelayanan ekonomi kemasyarakatannya. Selama berdiri sejak tahun 2006 CRID telah mengadakan seminar dan diskusi public dan juga riset mengenai keragaman. Semboyan CRID adalah “Unity in Diversity” yang tidak lain adalah Bhineka Tunggal Ika.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar