Minggu, 16 Januari 2011

Memimpikan Indonesia Besar



DARI pengetahuan yang dimiliki dia akan mempunyai visi-misi ke depan yang dituju dengan jelas dan mempunyai kemampuan untuk eksekusi dari A-Z. Apakah system pendidikan dan kurikulum kita bisa menghasilkan manusia-manusia demikian? Itulah tantangan kalau Indonesia ingin menjadi emas dan bukan hanya menggerutu dan meratapi nasib melihat India (Bangalore) berubah menja­di "kota silicon" dan pusat outsourcing yang berpengaruh di dunia. Kita tidak bisa menyusun sebuah strategic-plan yang baik dan rencana karena tidak mempunyai banyak SDM yang mengarah ke perencanaan strategis yang proaktif dan mengenal gerakan dan perubahan global. Pola mengikutihukum"permintaan dan penawaran" atau "aksi-reaksi" adalah per­mainan bisnis jangka pendek dan jangka panjang. Tak heran tiba-tiba kita merasa BBM perlu dinaikan lagi setelah Mei 2008 karena antisipasi kebijakan bihan bakar tidak terdeleksi atau tidak tahu langkah strategis ke depan mau apa setelah menganalisis keadaan atau sinyal yang mungkin sudah lama ada. 

Hal ketiga adalah soal birokrasi. Yang penulis maksudkan baik system politik atau politik maupun kebijak­an yang diterapkan. Dari pengalaman penulis tinggal 9 tahun di Filipina, setelah Marcos jatuh era 1980-an dengan "people-power"-nya sampai hari ini Filipina dinilai tak berhasil mengangkat kemakmuran negaranya. 

Jika ditanya, banyak orang Filipina menjawab "democ­racy we dream has become demo-crazy" (demokrasi yang kita impikan sudah berubah menjadi demokrasi kebablasan). Dalam people-power yang berganti adalah rezim, bukan orang-orangnya. De­ngan kata lain: mentalitas politik dan permainan poli­tik setelah 10 tahun reformasi sudah mengingatkan apa­kah demokrasi kita sudah kebablasan dan apakah yang kita ganti sebuah rezim atau aktor utama atau sebuah mentalitas/sistem? 

Banyak pihak mengeluh mengenai politik dan birok­rasi di Indonesia pasca-reformasi. Mendatangkan inves­tor setengah mati, namun apakah politik kita (keamanan, jaminan investasi dan kelangsungan investasi) serta birokrasi kita efektil dan efesien? Buku Michael Backman, Asia Filter Shock yang baru saja terbit sangat berlawanan dengan prediksi optimis di atas. Bekman mengatakan masa depan Indonesia suram karena untuk berbisnis biayanya sangat tinggi. Yang dimaksud adalah 'biaya siluman' alias korupsi. Pertama, korupsi Indonesia memburuk sejak jatuhnya Soeharto. Kedua, warisan hukum kolonial Belanda yang jelas tidak muktahir menyebabkan banyak ketidakpastian yang justru menjadi lahan subur tumbuhnya korupsi. Legalitas bisnis di Indonesia tidak jelas dan kadang kala menyebabkan banyak penafsiran yang bertentangan (atau sengaja dibuat demiki­an). Gubernur bilang," I am the boss", bupati pula mengatakan "He is the boss. Ah Yes..,but I am the CEO". 

Ketiga, rakyat Indonesia sa-ngat fleksibel terhadap ko­rupsi. Korupsi dilihat dari segi kuantitas. Banyak orang masih menganggap sah dan wajar jika orang-orang yang berkuasa memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya diri. Masyarakat baru jijik jika orang itu terlalu serakah. Mungkin anda terkejut pada analisa Backman. 

Demorkasi kebablasan membuat semua orang punya hak bicara keras dan iklim usaha terganggu. Pemodal akhirnya lebih memilih Vietnam atau Cina. 

Belum lagi bicara soal KKN. Kompas edisi 10 Juni 2008 melaporkan di pelabuhan Tanjung Priok, berkat sidak KPK ditemukan amplop berisi uang , untuk para petugas bea cukai pelabuhan hingga membuat marah Wapres dan menyebutnya sebagai 'keterlaluan.' 

Untuk perusahan luar yang disiplin keuangannya tinggi dan penuh integritas, dana siluman akan membu­at mereka kelabakan dan melawan prinsip korporasi. Mereka akan memilih mundur. Atau kalau pun melanjutkan, bea produksi dan impor menjadi lebih mahal se­bagai kompnesasi dari bea siluman tadi.

Semuanya ini bisa kita rangkum sebagai masalah clean/good and effective governance. Kalau ada kemauan politik masyarakat dan pemerintah untuk nienghentikan KKN, penulis kira kita tak perlu menunggu 22 tahun lagi untuk menjadi kuat. Akhirnya penulis ingin mengutip majalah SWA lagi untuk menjawab pesimisme Backman. Indonesia maju tak harus menunggu 22 ta­hun lagi. Syaratnya, sebagai-mana dirumuskan SWA dibutuhkan mentalilas: berjiwa mandiri, berpendidikan maju, visioner, berorientasi kesatuan, berkeadilan sosial, mempunyai kcpedulian so­sial serta berjiwa enter-preuner, peduli lingkungan, kreatif dan inovatif, berdaya saing di tbgkat global, bersih dari segala KKN, berakhlak yang baik dan siap berubah. Tiga belas mentalitas yang di-butuhkan ini merupakan prasyarat kalau ingin mem­buat Indonesia besar kemba-li. Masalahnya adalah apa-kahkita semua aanggup mempunyai kemauan un« tuk mewujudkan prasyarat di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar