BAGAIMANA visi manajemen kita? Kita sudah melihat bahwa arah pendidikan harus memprioritaskan human character building, yaitu pembentukkan manusia yang selalu. mandiri dan haus "untuk belajar terus-menerus, manusia yang terbuka untuk belajar dari siapapun dan dari manapun, dan manusia yang mencari signifikasi (arti) bagi dirinya sendiri dan orang lain (SQ dan EQ). Maka penulis meringkaskan visi manajemen nantinya adalah: center of excellence, center of net-workings, and agent of personal and social welfare. Apa yang penulis maksudkan di atas?
Penulis mau mengatakan bahwa arah manajemen sekolah pertama-tama adalah menjadikan institusi pendidikan (sekolah) sebagai center of excellence (CE). CE ini bukan hanya merancang sebuah proses belajar-mengajar (kurikulum) untuk mencapai pengetahuan intelektual dan tehnologi, namun lebih-lebih menciptakan kesadaran diri (self-awareness) para peserta didik untuk tahu akan dirinya, lingkungannya dan me-nentukan sebuah sikap dengan baik. Kala "baik" di sini berarti baik dalam hal pencapaian tujuan dan cara-cara yang etis untuk mencapai tujuan. Penulis mau membagikan pengalamannya ketika membaca buku yang baru-baru terbit (tahun 2007) yaitu Peter F. Drucker, Classic Drucker, Jakarta: FT. BhuanaRmu Populer (BIP), 2007. Sungguh orang akan kaget melihat bagaimana Drucker me-mulai pembicaraannya tentang manajemen dengan pembahasan Merigelolah Diri Sendiri. Hal yang dia bicarakan di dalam bab pertama bukunya membicarakan hal-hal yang re mgkin lepas dari pikiran kita: "Apa kekuatan saya, Bagaimana saya berkinerja, Apa-kah saya seorang pembaca atau pendengar, Bagaimana saya belajar, Apa nilai-nilai saya, Tanggung jawab membina hubungan..." Mungkin visi manajemen kurikulum kita harus diatur kembali untuk membantu peserta didik untuk menjadi mandiri dengan melatih pola pikir mereka dan bagaimana mereka melihat hidup dan apa yang terjadi di sekilarnya. Center of Net-Working (CNW) mengajarkan kepada kita bahwa untuk berhasil menjadi manusia yang berkualitas dewasa ini kita tidak bisa menutup diri dan me-ngerjakan sendiri saja: kita butuh sinergi dari berbagai pihak. Dunia sekarang membutuhkan "the openness and the art of doing together." Kita tidak perlu malu untuk "mengemis" ide dari siapapun juga, Hal ini bisa dibantu oleh tehnologi yang sudah canggih dan tentu kemampuan berbahasa le-bih dari satu. Sebagai contoh: te-lekomunikasi satelit bisa meng-hadirkan seorang pengajar di be-lahan dunia lain di layar tanpa perlu pindah lokasi. Tentu ini mengandaikan bahwa semua yang terlibat di dalam proses pendidikan, terutamapendidik sendiri, terbuka akan semua pihak dari manapun juga (multi-kultural).
Agent of personal and social welfare mengatakan bahwa di dalam seluruh proses pendidikan sang peserta didik dengan masa depannya harus merupahkan tujuan utama pendidikan. Institusi pendidikan yang tidak bisa mem-berikan masa depan yang baik bagi si peserta didik dan masyarakat merupahkan pemborosan waktu dan tenaga! Bukan rahasia umum lagi banyak lulusan sarjana di berbagai tempat (jadi bukan hanya di Indonesia!) menganggur dan sebagian lagi tidak kreatif alau alias tidak bisa kerja. Ini menyebabkan kita bertanya yang salali itu siiipa: dia atau tempat dia mc-nuntut ilmu? Tetapi keberhasilan/ kesuksesan pribadi (masa depan yang cerah dengan cara pencapaian yang etis) tidaklah tujuan satu-satunya. Kita tahu juga bahwa pernimpin/penguasa otoriter (bah-kan fasis), koruptor paling jago adalah juga pernah lulusan di sekolah yang terbaik dari segi keheba-tan sistem pendidikannya, orientasi religiusnya dan bahkan sekolah paling mahal dan bergengsi. Me-ngapa? Karena di institusi pendidikan tersebut tidak berhasil me-nanamkan nilai-mlai (etika) sosial. Sesuatu yang mempunyai efek negative secara sosial (negative social cost) selalu akan menjadi masalah bagi semua pihak, terma-siik "yang menyebabkan" pada akliirnya Mungkin pada awal jalan pintas merupahkan cara yang efisien, namun tidaklah selalu efek-tif pada akhirnya. Ini mengajarkan kita bahwa menularkan sejak dini social values (nilai-nilai/etika sosial) sangatlah penting. Tanggung jawab sosial akan menjadi sebuah beban institusi pendidikan juga nantinya. Maka dari itu sebuah kurikulum yang dirancang khusus (bukan hanya pakct pelajaran formal, tetapi sikap!) dibu-tuhkan agar lulusan manapun mempunyai tanggung jawab sosial kemasyarakatan. Kalau pembaca mengikuti semua tulisan yang panjang dan mungkin membosankan dari mim-pi seorang pendidik juga, di dalam hatinya akan timbul dua pertanyaan mendasar yang sah:
apakah dengan demikian itu berarti kita harus merombak scinun kurikulum lagi, (2) kalau bcgilu pendidikan akan sangat mahal harganya kelak kalau ini diikuti.
Terhadap pertanyaan pertami penulis sekali lagi menegaskan masalahnya bukan pertama-lama mengubah kurikulum dalam arti isi/paket mata pelajaran. Ini masalah bagaimana re-orientasi sebuah institusi pendidikan dan metode yang diterapkan untuk mencapai visi tersebut.
Memang kalau dillihat demikian pendidikan akan kelihatan mahal. Ada benarnya dan ada tidak benarnya. Benarnya adalah bahwa ini memerlukan sebuah investasi yang cukup lumayan besar (kalau menyangkut tehnologi). Ini hanya sebatas masalah tehnik (how). Sekali lagi, yang terpenting bukan persoalan instrumental (tehnik), namun cara pandang/paradigma atau visi. Kita bukan kekurangan sekolah yang mempunyai perangkat labora-torium yang cukup. Namun, kila masih kurang melahirkan ilmu-wan inovatif besar. Ini segi tidak benarnya bahwa akan selalu bun-tutnya adalah soal finansial.
*) Penulis adalah Dosen SIT Pastor Bonus dan Seminari A. Ventigmillia Direktur Center for Research and Inter-Religious Dialogue (CRID)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar