Minggu, 16 Januari 2011

Pendidikan Multikultural Prioritaskan di Daerah Konflik

19 September 2007

PONTIANAK, KOMPAS -Pendidikan multikultural perlu diprioritaskan menjadi salah satu kurikulum muatan lokal di da-erah konflik. Pendidikan multi­kultural di jejang pendidikan for­mal itu diharapkan dapat mem-bangun kesadaran siswa untuk memahami dan menghargai per-bedaan. Dengan cara ini, konflik di wilayah tersebut diharapkan bisa diredam atau bahkan dihilangkan. 

Gagasan ini disampaikan M Ikhsan Tanggok, dosen filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, da-lam seminar "Pendidikan Mul-tikulturalisme Menuju Masyara-kat Madani di Kalimantan Barat", Selasa (18/9) di Pontianak. Se­minar yang diselenggarakan Cen­ter for Research and Inter-Re­ligious Dialogue (CRID) ini juga menghadirkan Sekretaris Ekse-kutif Hubungan Antarkeagamaan (HAK) Konferensi Waligereja In­donesia (KWI) P Benny Susetya Pr. "Idealnya pendidikan multi­kultural diakomodasi di kuriku­lum nasional. Namun, untuk me-nerapkan hal itu dibutuhkan pra-syarat dan biaya yang tidak se-dikit. Selain kurikulum, gurujuga harus ditatar terlebih dahulu agar memahami metodologi pendidik­an multikultural yang berbeda dengan pengajaran mata pela-jaran lain. Jadi, pendidikan mul­tikultural dapat mulai dikem-bangkan dalam kurikulum mu­atan lokal di daerah konflik atau bekas konflik, seperti di Kalimantan Barat, Poso, Papua, danl Ambon," kata Ikhsan. 

Di tingkat perguruan tinggi, pendidikan multikultural dapat dilakukan melalui mata kuliah sejarah agama-agama dan per-bandingan agama, seperti yang diterapkan UIN Syarif Hidaya­tullah dalam 15 tahun terakhir. Prinsipnya, mempelajari agama orang lain bukan berarti harus mengimani agama tersebut] tetapi mengenal agama lain itu! Hal ini dapat menghilangkan pra sangka terhadap agama lain, se kaligus meningkatkan toleransi terhadap agama orang lain. 

Sejak dini 
Bagi Benny Susetya, pendidikan multikultural perlu dibanguri sejak dini di lingkup keluarga. Sejak kecil anak perlu dibiasakan mengakui dan menghargai perbedaan agama, keyakinan, ideologi, budaya, dan segala perbe daan lain. 

"Kuncinya ada pada komuni kasi atau dialog yang perlu terus dikembangkan oleh orangtua. Anak diberi ruang untuk meng-ekspresikan dan mendiskusikan segala perbedaan yang ada. Untuk mencapai itu, orangtua harus mampu menghilangkan otoritas tunggal atau budaya feodal yan; ada dalam dirinya," kata Benny. Salah satu contoh penerapan pendidikan multikultural di ke luarga adalah mengajak anak me-nonton mimbar agama lain. Dari situ anak diajak memahami ni lai-nilai yang sama atau yang ber­beda, lalu didiskusikan. (WHY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar